Senin, 19 Desember 2011
Laki-laki berbadan kurus, berpenampilan sederhana, ramah, lembah manah, rendah hati serta perokok berat dengan dedikasi yang tinggi telah melestarikan dan mengembangkan tari klasik gaya Yogyakarta, melalui profesinya sebagai penari, penata tari maupun guru tari. Sasmita Mardawa dalam menggeluti jagat tari klasik gaya Yogyakarta begitu panjang. Dengan gelora semangat lebih dari seratus tari baik tarian lepas atau berupa fragmen sudah dia hasilkan. Beberapa negara puin sudah dia singgahi dalam lawatan tarinya, di mana dia berperan sebagai penata tari. Sampai sekarang Sasmita Mardawa merupakan salah satu nara sumber penting bagi pelestarian dan pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta.
Sasmita
Mardawa telah berani melakukan peringkasan dalam sebuah tarian ataupun
fragmen, peringkasan itu ia lakukan tidak mengganggu apalagi menghilangkan
esensi tari atau fragmen tersebut. Dia mengatakan bahwa hanya memotong
hal-hal yang penting dan tidak mungkin digambarkan dalam bentuk
visual, atau bagian yang hanya di ulang-ulang. Langkah tersebut
oleh Sasmita Mardawa dimaksudkan sebagai penyesuain tari klasik
gaya Yogyakarta dengan kondisi masyarakat modern dimana waktu merupakan
hal yang sangat penting. Peringkasan tari dengan demikian merupakan
tuntutan keadaan yang harus ditempuh agar tari tersebut tetap diapresiasi
oleh masyarakat. Lewat aktualisasi tersebut, maka tari klasik gaya
Yogya akan tetap hidup. Peringkasan tari yang dilakukan oleh Sasminta
merupakan suatu rekayasa kultural yang dilandasi visi kedepan, yaitu
perhitungan-perhitungan khusus dimana tari dituntut untuk memasuki
jagad modern yang mana dalam era tersebut menuntut mobilitas sosial
yang cukup tinggi. Pengadaptasian tari merupakan resiko logis sehingga
tari tersebut dapat berdialog dengan masyarakat modern, tanpa harus
tercerabut dari akar tradisinya.
Keberanian
Sasminta dalam melakukan pemendekan waktu dalam tari klasik gaya
Yogya tersebut tidak luput dari reaksi yang ada pada masyarakat,
baik itu reaksi yang menolak maupun reaksi yang mendukung. Reaksi
menolak datang dari kalangan priyayi kuno yang memandang tari klasik
gaya yogya merupakan sebuah kreativitas seni yang tinggi dari kraton
yang tidak boleh diganggu gugat, tari tersebut harus sama plek dengan
tari yang aslinya. Sedang dari kalangan yang mendukung apa yang
dilakukan oleh Sasminta datang dari pihak akademisi, seperti yang
diungkapkan oleh Sudarsono, seorang profesor sejarah UGM dan juga
pakar tari jawa; menurutnya bahwa cirikhas tari susunan Romo Sasminta
adalah tarian yang tidak begitu panjang tetapi penuh dengan variasi
dan dengan gerak-gerak yang dinamis. Romo Sas berhasil menghadirkan
kembali tari klasik gaya Yogya yang semula sulit dipahami. Sedangkan
menurut almarhum Sri Sultan HB IX bahwa Sasminta adalah salah satu
sosok pelestari tari klasik gaya Yogya yang sangat pantas dihargai.
Penghargaan yang diberikan almarhum Sri Sultan HB IX kepada Sasminta
adalah memberikan kepercayaan kepadanya untuk menata perpaduan tari
klasik gaya Yogya dengan tari klasik gaya Surakarta. Ini merupakan
suatu hal yang semula dianggap tidak mungkin dilakukan. Kepercayaan
tersebut tidak disia-siakan oleh Romo Sas karena merupakan suatu
tawaran yang sangat menggetarkan. Bagi Sasminta memadukan tari gaya
Yogya-Solo bukan hal yang sulit, sebab prinsipnya pola gerak, tarian
serta gamelan adalah sama. Hanya pada bentuk-bentuknya yang berbeda.
Kiprah
Rama Sas dijagat tari dimulai ketika dia magang menjadi penari karton
Yogyakarta, ketika dia berusia 13 tahun. Ayahnya seorang abdi dalem
kraton yogyakarta, yang mempunyai keinginan agar Sasminta menjadi
seorang penari. Berkat bimbingan Purbaningrat, guru tari yang sangat
ia kagumi, dia menjadi penari kraton. Peran yang dia bawakan kebanyakan
adalah peran putri, seperti Srikandi, Suprabawati dll, tetapi peran
tersebut tidak mempengaruhi kejiwaannya., ungkapnya. Romo Sas belajar
menari terutama ingin mendalami etika orang Jawa dalam pergaulan
sosial, selain pengolahan batin. Sejak ia giat belajar tari ia mengaku
menjadi tahu unggah-ungguh, subasita, serta sopan-santun, dan secara
batinpun ia menjadi terasah.
Ketika
Sasminta berusia 17 tahun ia sudah mulai menjadi pengajar tari di
beberapa sekolah. Dia sebulan menerima gaji sebesar seribu lima
ratus ribu rupiah. Uang tersebut habis untuk membeli rokok. Ia memang
perokok berat sejak masih muda. Menurutnya bahwa landasan mengajar
tari semata-mata hanya pengabdian bukan mencari uang. Penghayat
ilmu Kebatinan Sumarah ini memang lega-lila, pasrah, tulus dalam
memberikan dirinya. kepada jagad tari khususnya tari gaya Yogya,
dia merasa heran, sebab dia tidak pernah memproyeksikan dirinya
menjadi tokoh tari Jawa, karena pergulatan kreatifnya itu dilakukan
dalam rangka "netepi tembung sumarah" (meyakini filsafat sumarah/Pasrah),
yang didalamnya terkandung suatu kejujuran, migunani masyarakat
(berguna bagi masyarakat, temen-manteb (setia dan mantap pada pilihan)
dan suimarah (pasrah) pada Tuhannya.
Sasminta
Mardawa lahir pada tanggal 9 April 1929 di Yogyakarta, karena rasa
cintanya yang begitu tinggi pada seni tari khusunya tari klasik
gaya Yogya sampai-sampai ia lupa untuk nikah. Sampai-sampai kakaknya
Bendoro Raden Ayu Pujokusumo, istri GBPH Pujokusumo adik dari Sri
Sultan HB IX menegurnya berulang kali untuk segera berumah tangga.
Dan niat untuk kawin tersebut baru dapat terkabul ketika usianya
sudah menginjak 54 tahun. Dia mengawini Siti Sutiyah BA, anak didiknya,
mereka dikaruniai oleh Tuhan satu anak. Begitulah pengabdian yang
tanpa pamrih dari Sasmita kepada dunia tari sampai ia lupa akan
kepentingan pribadinya dalam kehidupan sosial.
0 komentar:
Posting Komentar