Asal Mula Nama Desa Lendah K.P & Sejarah Perjalanan Hidup Syech Jangkung

Jumat, 01 Juli 2011



Konon, kabarnya peristiwa terjadinya daerah Lendah adalah berhubungan dengan proses perkembangan ajaran agama Islam di daerah pulau Jawa; terutama daerah Jawa Selatan. Kejadian ini, sangat erat hubungannya dengan nama seorang tokoh penyebar agama Islam yaitu, Syech Jangkung.

Adapun tentang nama asli Syech Jangkung ini, orang empunya cerita tidak begitu jelas dituturkan sebagai keturunan, Jaka Tingkir yang setelah menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Tepatnya Syech Jangkung ini adalah cucu daripada Jaka Tingkir. Sebagai keturunan Jaka Tingkir, Syech Jangkung pun pada masa mudanya tidak ubahnya seperti kakeknya. Kenakalannya dan kesaktiannya sangat dikenal di kalangan rakyat Pajang.
Setelah dewasa, Syech Jangkun mempunyai niat untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, baik ilmu untuk memperoleh kesaktian maupun ilmu-ilmu keagamaannya. Untuk menuruti kata hatinya itu, Syech Jangkung pergi ke Kudus, dan kepada sunan Kudus-lah Syech Jangkung inging memperoleh pengetahuan yang diinginkan. Selama belajar pada Sunan Kudus, Syech Jangkung menampakkan kecakapannya, ketrampilan dan kegesitannya. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa semua ilmu pengetahuan yang diinginkan itu hampir semuanya telah dikuasainya.
Akan tetapi pada suatu hari, yaitu pada waktu dalam dialog antara guru dengan muridnya, terjadilah suatu perdebatan di antara keduanya itu. Tentu saja dalam perdebatan yang terjadi ini, masing-masing, baik guru maupun muridnya sama-sama mempertahankan pendapatnya. Sikap sang murid terhadap gurunya ini, dianggaplah oleh sang guru suatu penghinaan terhadap dirinya. Oleh sebab itu, untuk menjaga martabat sang guru, murid itu di usirnya, dan sebagai hukumannya, si murid dimasukkan ke dalam "kakus".
Kemudian dan tidak diketahui bagaimana caranya, Syech Jangkung,  si murid Sunan Kudus, dapat melarikan diri dari hukuman itu. Sebagai orang hukuman Syech Jangkung menjadi seorang buronan, Syech Jangkung akhirnya memasuki daerah atau wilayah Semarang; yaitu di daerah Wiyana. Di daerah Wiyana ini, Syech Jangkung bertapa dan kemudian mendirikan tempat pengajian untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Selanjutnya dalam tugas penyebaran agama Islam, Syech Jangkung bertemu dengan seorang pendeta yang berasal dari krendetan (purworejo) bernama Kyai Projaguna. Dalam pertemuan itu, Syech Jangkung minta kepada Kyai Projaguna dua buah kelapa yang sebuah untuk bibit dan yang satu lagi akan digunakan untuk perahu. Kemudian dengan perahu itu Syech Jangkung mengembara menuju daerah seberang yaitu Palembang.
Setibanya Syech Jangkung di Palembang, bersamaan dengan timbulnya malapetaka yaitu wabah penyakit yang mengurung daerah itu. Wabah itu sangat ganas, sehingga mengakibatkan banyak korban di antara sebagian besar penduduk.
Kedatangan Syech Jangkung di Palembang, yang kemudian bersemedi itu, secara kebetulan diketahui oleh penduduk di daerah setempat. Oleh penduduk itu, apa yang dilihatnya kemudian dilaporkan kepada sang Baginda penguasa kerajaan Palembang.
Oleh Sri baginda, syech Jangkung kemudian di panggil untuk menghadap. Setelah menghadap kemudian Syech Jangkung di tanya tentang asal usul dan maksud kedatangannya. Dari hasil pembicaraan itu ia di tuduh oleh baginda, sebagai penyebab timbulnya malapetaka itu. Kemudian sang baginda memerintahkan kepada Syech Jangkung untuk memberantas wabah, dengan suatau pernyataan, apabila Syech Jangkung berhasil memberantas wabah itu, akan di ambil menantu, akan tetapi seandainya gagal, akan dijatuhi hukuman mati. Ternyata dengan kesaktian yang dimiliknya, Syech Jangkung berhasil meredakan wabah yang menyerang penduduk Palembang, kemudian Syech Jangkung dikawinkan dengan salah seorang Putri Palembang. Sebagai hasil dari perkawinan itu lahirlah seorang putra yang diberi nama Leden Mukmin.
Setelah beberapa lama tinggal di Palembang Syech jangkung, merasa menjadi beban istrinya. Oleh sebab itu beliau mempunyai keinginan untuk pergi berkenalan melanjutkan tujuannya untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Dalam pengembaraannya itu, beliau sampai di pesisir utara yaitu Cirebon.
Bersamaan dengan datangnya Syech Jangkung itu, di Cirebon sedang terjadi peperangan antara Cirebon dengan Banten. Kedatangan beliau di Cirebon diketahui oleh Sultan Cirebon yang kemudian dipanggil menghadap. Dalam pembicaraan itu Syech Jangkung diagkat sebagai Senapati. Dan apabila beliau berhasil mengalahkan pasukan Banten, akan diangkat sebagai menantu Baginda. Ternyata apa yang diinginkan oleh Sultan Cirebon disanggupi oleh Syech jangkung.
Dalam pertempuran itu hanya dengan memakai senjata batok (tempurung kelapa) yang diperolehnya dari Kyai Projoguna, maka hancurlah pasukan Banten. Akhirnya dengan kemenangan itu Syech Jangkung diangkat menjadi menantu Sultan. Dari hasil perkawinan ini, lahir pula seorang putra dan diberi nama Raden Wilopo.
Seperti halnya di Palembang, setelah beberapa Syech Jangkung meninggalkan anak istrinya di Cirebon, karena tujuannya untuk menyebarkan agama Islam. Di dalam penyebaran ini, Syech Jangkung akhirnya sampai Tlaga Krapyak ini daerah mataram. Mataram pada waktu itu diperintah oleh Sultan Agung. Di Telaga Krapyak kemudian Syech Jangkung melakukan kebiasaannya bersemedi. Kemudian datanglah seorang pemburu abdi Mataram di daerah dimana Syech Jangkung bersemedi. Kedatangan seorang pemburu dikarenakan adanya suara binatang. Setelah tiba di tempat dimana suara binatang itu berasal, si pemburu tidak menemukan binatang apapun, kecuali seorang yang sedang bertapa. Yang tidak lain adalah Syech Jangkung.
Setelah itu pemburu menghadap kepada sang sultan untuk melaporkan peristiwa yang dilihatnya di Tlaga Krapyak itu. Mendengar laporan pemburu itu, Sultan Agung segera mendatangi tempat tersebut untuk membuktikan laporan sang pemburu. Sesampainya ditempat tersebut, sultan Agung melihat suatu kenyataan seperti apa yang dilaporkan oleh pemburu itu.
Setelah melihat adanya seorang pertapa, sultan kemudian segera menghampirinya, oleh yang bertapa sultan agung dipersilahkan duduk. Dalam pertemuan itu, terjadilah dialog antara Sultan Agung dengan Syech Jangkung. Hasil daripada dialog itu akhirnya sultan Agung mengakui bahwa ilmu yang dimiliki Syech Jangkung lebih tinggi daripada ilmunya. Oleh sebab itu Sultan Agung kemudian mengangkat Syech Jangkung sebagai saudara tua. Untuk lebih mempererat tali persaudaraan itu, Syech Jangkung dikawinkan dengan kakak perempuannya yang bernama R.A.Retno Jumali.
Syahdan menurut tutur kata yang mempunyai cerita beberapa lama kemudian tersiarlah berita bahwa Mataram akan diserang oleh mesir. Selanjutnya Sultan Agung bersama dengan Syech Jangkung pergi ke Mesir dengan maksud untuk melihat situasi kerajaan Mesir, terutama kekuatan pasukannya. Dalam memata-matai itu, Sultan Agung dan Syech Jangkung menyamar sebagai pencari belalang di alun-alun kerajaan Mesir. Kedatangan kedua pahlawan dari Mataram, diketahui oleh seorang Punggawa yang bernama Iman Sofingi. Kemudian Iman Sofingi menanyakan kepada kedua pencari belalang itu, tentang asal-usul dan menanyakan kedatangannya.
Mendengar pertanyaan Iman Sofingi itu, kedua pencari belalang itu menjawab mereka berasal dari Mataram, kedatangannya ke Mesir itu untuk mencari belalang, sebab di Mataram kehabisan belalang. Setelah mendengar jawaban kedua orang dari Mataram, lalu oleh Imam Sofingi dihadapkan kepada Raja.
Setelah dihadapkan kepada sang Raja, kedua orang itu memperoleh keterangan, bahwa memang benar Raja Mesir mempunyai maksud untuk menyerang kerajaan Mataram. Selanjutnya sang Raja menanyakan kepada kedua orang itu tentang cirri Sultan Agung dan juga kesaktiannya. Maka dijelaskanlah oleh salah seorang pencari belalang itu bahwa cirri-ciri Sultan Agung adalah seperti salah seorang diantara kedua orang itu yang sebenarnya adalah Sultan Agung sendiri. Demikian pula dengan kesaktiannya.
Kedua orang itu menyarankan kepada Raja Mesir, bahwa sebelum menyerang Mataram, terlebih dulu mencoba untuk menguji kesaktian antara Raja Mesir dengan salah seorang diantara mereka. Dalam mengadu kesaktian itu, ternyata yang maju Syech Jangkung. Untuk melawan Raja Mesir Syech Jangkung dengan menggunakan kopyah. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Syech Jangkung dank arena kekalahan ini, Raja mengurungkan niat untuk menyerang Mataram. Dan akhirnya kedua orang itu mengaku bahwa dirinya adalah Sultan Agung sendiri dan Syech Jangkung.
Dengan kemenangannya atas Mesir, Sultan Agung mempunyai maksud kelak setelah meninggal agar jenazah dimakamkan di tanah Mesir. Akan tetapi niat itu tidak disetujui oleh Raja Mesir, sebab apabila Sultan Agung dimakamkan di Mesir orang Mataram tidak lagi mempunyai sesmbahan (=pepunden = jawa). Untuk tidak mengecewakan kemauan Sultan Agung, maka Raja Mesir memberikan segenggam tanah Mesir yang kemudian tanah itu dilemparkan ke tanah Jawa. Dan setelah kebetulan tanah yang dilemparkan itu jatuh di wilayah kerajaan Mataram, yaitu di desa Imogiri. Oleh sebab setelah Sultan Agung wafat dimakamkan di Imogiri.
Setelah dirasa cukup keperluannya di Mesir, kemudian Sultan Agung dan Syech Jangkung kembali ke Mataram. Sesampainya di Mataram, oleh Sultan Agung, Syech Jangkung diharapkan untuk tinggal di Keraton. Akan tetapi permintannya dengan sangat menyesal ditolak oleh Syech Jangkung, dengan alas an supaya Syech Jangkung dapat lebih leluasa mengamalkan ajaran Agama Islam.
Untuk melaksanakan maksudnya Syech Jangkung mohon kepada Sultan Agung agar diberi tanah didaerah sebelah barat sungai Praga. Permohonan itu dikabulkan kemudian setelah itu, Syech Jangkung berangkat ke tempat yang telah dipilihnya yang akan dijadikan tempat pertapaannya. Dipertapaan ini, Syech Jangkung oleh para murid-muridnya disebut dengan nama Kyai Landoh. Disebut dengan nama ini karena Syech Jangkung mempunyai seekor kerbau kesayangannya Kebo Landoh, yaitu kerbau yang tanduknya ke bawah, dan digunakan sebagai kendarannya. Menurut cerita orang, kerbau ini adalah kerbau jadi-jadian. Pada mulanya kerbau itu adalah kerbau biasa yang artinya mempunyai tanduk sebagaimana mestinya seekor kerbau yang lainnya. Akan tetapi oleh Syech Jangkung / Kyai Landoh, tanduk itu kemudian dipuntir kebawah. Pada akhirnya Syech Jangkung mengatakan kepada murid-muridnya dalam bahasa sebagai berikut :
"Sok ne kana rejaning jaman, papan iki jenengi Landoh" (kelak dikemudian hari, daerah ini akan saya beri nama Landoh).
Dari kata Landoh inilah, maka akhirnya berubah nama menjadi Lendah.
Perlu diketahui pula bahwa Kyai Landoh (Syech Jangkung) selama menyebarkan ajaran agama Islam mempunyai pegangan sebagai pusaka yang berwujud : Al-Quran; Kudi Rancong dan Batok Bolu. Ketiga pusaka ini masih dihormati oleh penduduk setempat sebagai benda keramat / pusaka yang melindungi keselamatan rakyat setempat. Dan menurut pusaka-pusaka satu tahun sekali pada bulan Sura dibersihkan; antara lain Al-Quran dibaca disekitar makam Kyai Landoh. Kecuali itu, beliau mempunyai istri 3 orang yang dengan setia mengikuti jejaknya. Ada pun istri-istri tersebutialah; 1. R.A.Retna Jumali; 2. R.ARetna Dumilah; 3. R.ARetna Diluwih.
Begitulah cerita yang kami bawakan ketika Pentas di Kaliurang dalam festival Reog dan Jathilan. Tentunya kami dibimbing oleh Mas Danang, Mas EkoYoto, serta penari yang ndobel sebagai penari juga pelatihg.

1 komentar:

Seneng Bareng mengatakan...

orang sering bilang "bathok bolu isi madu" itu mempuyai wujud fisik. tapi sebenarnya itu merupakan suatu kiasan bahwa bahwa Allah tidak memandang seseorang (hamba-Nya) dari segi fisik, namun keimanan dan ketaqwaanlah yang Dia nilai. Wallahu a'lamu bishowab

Posting Komentar