Bagaimanapun, Wayang Orang Gaya Yogyakarta Tidak Boleh Punah

Rabu, 13 Juli 2011

Kota Yogyakarta yang merupakan kota pariwisata yang berbasis budaya memiliki potensi seni budaya yang sangat beragam. Inilah yang menjadi daya tarik sekaligus kekhasan kota ini yang membedakannya dengan kota lainnya. Salah satu keunikan yang dimiliki adalah kesenian wayang orang. Wayang orang merupakan seni tradisi yang memadukan seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa. Wayang orang gaya Yogyakarta pertama kali diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB I) pada pertengahan abad ke-18 (1756M) dan mencapai puncak perkembangannya pada masa pemerintahan Sultan HB VIII. Pentas Wayang Orang Gaya Yogyakarta yang ditampilkan anggota Paguyuban Retno Aji Mataram berjudul "Ciptaning Mintaraga" di Pendopo Mangkubumen Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Senin (27/6). Cerita wayang orang bersumber pada lakon Mahabarata dan Ramayana. Wayang orang merupakan kebudayaan yang syarat dengan filsafat dan pendidikan yang mengajarkan kita memahami falsafah hidup, etika dan tuntutan budi pekerti dalam kehidupan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Penjiwaan merupakan dasar filsafat seni tari Yogyakarta yang dikenal istilah “Joged Mataram” terdiri dari empat (4) dasar yaitu sawiji (kosentrasi total), greged (dinamika atau semangat), sengguh (percaya diri) serta ora mingkuh (pantang mundur). Ke empat filosofi ini kemudian diangkat menjadi filosofi tata nilai Yogyakarta dan menjadi karakter masyarakatnya. Pada dasarnya, cerita atau peran yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit. Biasanya lakon yang dibawakan adalah lakon atau peran semacam itu dibawakan orang (uwong) dalam bahasa Jawa. Pada awal pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, kesenian yang mendapat perhatian besar adalah seni karawitan (musik Jawa) dan seni tari(tari Jawa), tetapi aspek pertahanan dan keamanan juga menjadi perhatian besar. Mengingat waktu itu Sri Sultan Hamengku Buwono juga menghadapi kekuatan Belanda. Oleh sebab itu, teknik-teknik menari tidak jauh berbeda dengan latihan militer, ketegasan, ketagapan tubuh, kesungguhan dan semangat menjadi sangat utama. Bentuk dramatari yang pertama diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah wayang wong (wayang orang) dengan lakon “Gondowerdoyo”. Lakon ini mengandung spirit patriotism yang digali dari epos Mahabarata khususnya menampilakan patriotism dari para ksatria Pandawa yang gagah berani membela kebenaran atau kelicikan para Kurawa (Wiboso,1981:33). Wayang wong di Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tari kelompok yang sangat sederhana, karena tidak memusatkan pada gemerlapnya kostum dan piranti lainnya tetapi lebih mencitrakan semangat dan penghayatan yang kuat terhadap karakter tokoh. Sehingga tari klasik gaya Yogyakarta menampakkan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada tari gaya Surakarta yang berkesan romantik. Perbedaan tersebut membuat tari klasik gaya Yogyakarta termasuk wayang orang mendapat sebutan eksklusif yaitu Joged Mataram. Pengertian dari istilah tersebut lebih mengacu pada makna filosofis yang menjadi latar belakang istilah tersebut yaitu filsafat Joged Mataram yang terdiri dari empat (4) faktor yaitu greget, sengguh, sawiji dan ora mingkuh. Empat faktor ini tidak dapat dimaknai satu persatu tetapi pemahaman dari masing-masing filsafat ini terikat dalam kesatuan makna. GBPH Suryobrongto (Wibos0,1981:91-92) menguraikan tentang makna filsafat Joged Mataram sebagai berikut: Sawiji. Adalah konsentrasi total tampa menimbulkan ketegangan jiwa. Hal ini bukan berarti bahwa penari yuang bersangkutan menjadi lupa diri melainkan berada dalam situasi seluruh perhatiannya terpusat pada peran yang dibawakan sehingga walau ada apapun di sekitarnya, dia tidak akan mengacuhkan. Konsentrasi adalah kesanggupan yang mengizinkan untuk mengarahkan semua kekuatan rohani dan fikiran kea rah sasaran yang jelas dan melanjutkan terus menerus selama dikehendaki Greget. Adalah dinamika atau semangat atau api yang membawa di dalam jiwa seseorang. Semangat ini tidak boleh dilepaskan begitu saja, akan tetapi harus dapat dikekang untuk disalurkan ke arah yang benar. Maksudnya adalah bahwa emosi dari luar harus dapat dikendalikan sehingga tidak muncul dalam wujud kasar. Greged merupakan pembawaan dari penari, sehingga tidak bisa dilatih oleh orang lain. Jika memiliki greget, Ia tinggal mengembangkannya untuk menyalurkan ke arah yang benar. Penari-penari wayang orang yang memegang peranan penting harus memiliki bekal greged ini secara baik. Sebab apabila tidak , akan sukar menyalurkan “dinamika dalam” dari karakter yang dibawakannya. Penari yang memiliki greged pada waktu memerankan tokoh wayang akan kelihatan ekspresi dari “gerak dalam”jiwanya, biarpun ia dalam keadaan tidak sedang menari (tancep, duduk). Sengguh. Adalah self confidence (percaya pada diri sendiri) tanpa mengarah ke sombong. Percaya diri ini menumbuhkan sikap meyakinkan, pasti akan tidak ragu-ragu. Oran mingkuh, adalah tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran, Menempati apayang sudah menjadi kesanggupan dengan tanggung jawab penuh. Keteguhan hati dalam memainkan peranannya. Keteguhan hati ini berarti pula kesetiaan dan keberanian menghadapi bagaimanapun situasi dan mengorbankan apapun. Dan sikap ini merupakan endapan universal yang sama bagi seni teater pada umumnya. Inilah sikap yang dituntut oleh seni yang manapun, lebih-lebih seni teater dan wayang orang adalah termasuk didalamnya yang menuntut pengabdian total. Filsafat Joged Mataram adalah ilmu seni pertunjukkan yang mencakup aspek teknis dan juga aspek kebatinan. Ilmu seni pertunjukan tersebut konon diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tercatat dalam sejarah perkembangan wayang wong di Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sultan HB VII (1877-1921) Kraton Yogyakarta dua (2) kali menggelar pementasan wayang wong untuk tontonan kerabat kraton yaitu lakon Sri Suwela dan Pergiwa Pergiwati. Wayang wong di Yogyakarta ini disebut wayang wong Mataraman. Puncak perkembangan Wayang Wong Gaya Yogyakarta ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan HB VIII (1921-1939). Hal ini disebabkan Sultan sendiri adalah seorang penari yang mencintai serta sangat peduli dengan jenis kesenian wayang wong. Selama 18 tahun masa pemerintahan Sultan HB VIII, telah diselenggarakan pergelaran wayang wong sebanyak 15 kali dengan lakon yang bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Selama perkembangan tersebut, terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan seniman, pakar tari Kraton antara lain sembahan, sabetan, lumaksono, ngombak banyu serta srisig. Dewasa ini,perkembangan seni tradisi, khususnya wayang wong semakin mengalami degradasi. Para pelaku dan kuantitas pertunjukan wayang wong juga semakin berkurang. Demikian pula peminar pertunjukan wayang wong juga semakin minim. Makin berkurangnya pertunjukkan wayang wong di Yogyakarta dikhawatirkan dapat memutus rangkaian transformasi budaya dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya. Wayang wong mungkin memang kurang populer dibandingkan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan wayang wong tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang wong terasa istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembali melihat keindahan gerakan para penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang wong sudah bisa disaksikan di luar kraton atau kerajaan. (Jogjanews.com/joe)

0 komentar:

Posting Komentar