Minggu, 28 Agustus 2011
Wayanng wong atau
dalam bahasa Indonesia berarti wayang orang, telah muncul sejak awal
berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengku Buwono
I, adalah sang pelopor seni pertunjukan kesenian tersebut. Sama halnya
dengan pertunjukan tari, pertunjukan wayang orang adalah sebuah
pertunjukan yang khusus digelar untuk kalangan istana. Terutama untuk
acara-acara kenegaraan.
Periode Hamengku Buwono VIII, adalah masa dimana kegiatan seni dan
budaya, mencapai masa keemasan. Khususnya untuk seni wayang orang.
Pertunjukan wayang orang masa Hamengku Buwono VIII, merupakan sesuatu
yang sangat penting.
Keberadaan wayang orang yang telah menjadi satu bagian dengan upacara
di keraton. Adalah hal yang wajib dipenuhi oleh seorang raja. Dengan
kata lain, pertunjukan wayang orang adalah bagian dalam kehidupan
Sultan. Sebagai bagian dalam kehidupan Sultan dan keraton, tentu ada
hal yang melatar belakangi terselenggaranya pertunjukan wayang orang.
Satu hal yang sangat penting dalam pertunjukan seni wayang orang adalah
latar belakang politik. Di mana di dalamnya terdapat masalah ‘kapan’
waktu yang tepat untuk mengadakan pertunjukan. Waktu atau kesempatan
yang tepat untuk mengadakan pertunjukan, sangat berkaitan erat dengan
strategi politik Sultan dalam proses legitimasi.
Sebagai sebuah aturan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi raja,
diwajibkan untuk menandatangani kontrak politik. Di mana sebelumnya
telah melalui perundingan antara calon raja dengan pihak Belanda. Tentu
saja kontrak politik akan ‘membatasai’ gerak langkah sebagai seorang
raja, sehingga tidak independen. Kebebasan politik sangat terkekang,
bahkan terkesan terpaksa untuk melakukan sebuah kebijakan. Dipilihlah
kegiatan seni dan budaya, sebagai sarana pengukuhan kekuasaan.
Ketidakmampuan
Hamengku Buwono VIII secara politis dalam menghadapi Belanda,
menjadikan wayang sebagai sarana berkomunikasi dengan rakyat. Karena
wayang adalah sumber yang tak pernah kering dalam komunikasi masyarakat
Jawa, demikian menurut Soemarsaid Moertono dalam bukunya, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX.
Sebagai
sarana ‘berkomunikasi’ dengan rakyat, berpaling pada seni wayang orang,
adalah langkah lebih efektif daripada mencari cara baru dalam
menghadapi tekanan politik. Sangat tidak masuk akal ketika kerajaan
mengalami kemunduran secara politis, kemudian mencari-cari cara lain.
Akan tetapi, justru dengan kemunduran dan tiadanya kesempatan politik,
menyebabkan Kesultanan Yogyakarta memalingkan diri pada kegiatan lain,
yaitu seni dan budaya.
Oleh
karena itu, pertunjukan wayang orang di dalam keraton tidaklah
main-main. Dengan kata lain, pertunjukan itu dilakukan secara
besar-besaran, bahkan terkesan sangat megah. Selain itu, Sultan juga
berusaha mengembangkan apa saja yang masih kurang dalam pertunjukan
wayang orang, yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya.
Sebagai
sebuah pertunjukan yang berskala besar, tentunya penonton bukan hanya
datang dari kalangan pribumi, melainkan para bangsawan Belanda.
Kebanyakan dari mereka sangat antusias dalam menikmati pertunjukan
wayang orang, meskipun pertunjukan itu berlangsung berhari-hari.
Pertunjukan
wayang orang diantaranya digunakan untuk merayakan ulang tahun Sultan,
upacara pernikahan, maupun untuk menyambut tamu kenegaraan. Ketika
Sultan merayakan tumbuk-dalem yang ke-7 atau ulang tahun ke-56, ada pergelaran wayang orang selama tiga hari, dengan tiga lakon, seperti: Samba Sebit, Rama Nitik, dan Rama Nitis.
Pergelaran wayang wong besar-besaran untuk upacara perkawinan bagi
putera-puterinya sebanyak empat kali, yaitu: 1) pada tahun 1926 dengan
lakon Samba Sebit dan lakon Suciptahening Mintaraga; 2) pada bulan Februari 1928 dengan lakon Parta Krama, lakon Srikandhi Jemparingan (Srikandhi Meguru Manah), dan lakon Sembadra Larung; 3) pada bulan Juli 1929 dengan lakon Jayapusaka; 4) pada bulan Maret 1939 dengan lakon Pregiwa-Pregiwati, lakon Rabinipun Angkawijaya, dan lakon Rabinipun Pancawala.
Bahkan
untuk merayakan perkawinan antara Puteri Juliana dari kerajaan Belanda
dengan Pangeran Bernhard van Lippe-Biesterfeld, pada bulan Januari 1937
diselenggarakan pergelaran wayang wong di keraton Yogyakarta dengan
lakon Suciptahening Mintaraga.
Dalam pertunjukan wayang orang tersebut, para tamu juga diberikan
sajian makanan yang sangat mewah. Dengan kata lain mereka bak tamu
agung.
Usaha
pementasan wayang orang secara besar-besaran harus dilakukan Sultan,
mengingat sangat pentingnya nilai sebuah pergelaran wayang orang bagi
keraton dan Sultan sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar